TTKKBI BANTEN – Suasana Jalan Lontar Baru, Kota Serang, pada Sabtu malam (18/10/2025) dipenuhi aura kebersamaan dan semangat kebudayaan. Ratusan pendekar, sesepuh, dan pegiat seni bela diri tradisional berkumpul dalam Milad Kedua Tjimande Tarikolot Karuhun Banten Indonesia (TTKKBI) yang dipadukan dengan Ritual Keceran, sebuah tradisi sakral dalam dunia persilatan.
Acara yang berlangsung sejak siang pukul 14.00 WIB hingga malam itu bukan sekadar perayaan ulang tahun, melainkan juga momentum mempererat tali silaturahmi antaraliran pencak silat dari berbagai daerah. Awal acara dimulai dengan pertunjukan silat dari paguruan-paguruan yang ada di wilayah Banten. Lalu pada sore harinya, acara dilanjutkan dengan santunan 100 anak yatim.
Deretan tokoh penting TTKKBI tampak hadir, di antaranya Ketua DPW I Banten H. Hudi Nurhudiyat, Ketua DPW I Jakarta Uyut Niko Sarante, Ketua DPW I Jawa Barat Erin Rahmat, dan Ketua DPW I Lampung Hengki Malonda beserta seluruh jajarannya. Tak ketinggalan, hadir pula perwakilan DPW II dari berbagai wilayah di Banten seperti Serang Timur dan Barat, Tangerang, Cilegon, serta Lebak.
Kehadiran mereka menegaskan bahwa TTKKBI bukan sekadar organisasi seni bela diri, tetapi juga rumah besar bagi keluarga besar pencak silat yang menjunjung tinggi nilai-nilai karuhun dan persaudaraan lintas wilayah.
Menjelang malam, tepat pukul 20.00 WIB, suasana berubah menjadi khidmat. Setelah sambutan dari Ketua Umum TTKKBI H. Tubagus Arif Hidayat, prosesi pemotongan tumpeng dilakukan sebagai simbol rasa syukur atas dua tahun perjalanan organisasi tersebut.

Tak lama berselang, dilakukan pembukaan Ritual Keceran secara simbolik — prosesi spiritual yang melambangkan penyucian niat dan penguatan ikatan antaranggota. Beberapa tamu kehormatan turut menerima ritual ini, di antaranya utusan dari Kodim, Dinas Pariwisata Kabupaten Serang, serta perwakilan dari berbagai organisasi seni bela diri seperti Kesti TTKKDH, KSTI, dan PTDI.
Sebagai bentuk penghormatan, H. Tubagus Arif Hidayat sendiri melakukan ritual keceran kepada para tamu kehormatan tersebut, mencerminkan nilai adab, rendah hati, dan penghormatan terhadap sesama.
Gembrungan dan Jaipongan Warnai Malam
Setelah prosesi sakral, suasana berubah semarak. Dentuman kendang dan irama ‘gembrungan’ menggema, mengiringi atraksi para juru silat dari berbagai perguruan — dari aliran Cimande, Terumbu, Bandrong, hingga Beksi. Setiap gerak, sabetan, dan langkah mencerminkan kekayaan filosofi dan kekuatan karakter khas silat Nusantara.
Penampilan itu disambut sorak kagum dan tepuk tangan panjang dari para penonton. Keindahan budaya semakin terasa ketika istri Ketua DPW I Banten menampilkan tarian Jaipong, menambah kehangatan dan pesona pada malam penuh makna itu.
Tak ketinggalan, sepuluh golok khas Banten diserahkan sebagai cenderamata kepada para tamu kehormatan — simbol kejantanan, kehormatan, dan semangat menjaga warisan leluhur.

Pesan Ketum: Bersatu dalam Karuhun, Berbeda dalam Aliran
Dalam sambutannya, H. Tubagus Arif Hidayat menegaskan kembali jati diri TTKKBI sebagai wadah pemersatu berbagai aliran silat tanpa menanggalkan akar tradisinya.
“Dalam prinsip silat itu, aliran boleh berbeda, namun jangan sampai merubah-ubah jurus yang sudah menjadi baku bagi silat tersebut,” ujarnya dengan tegas.
Ia juga menyampaikan rasa syukur atas dukungan berbagai pihak yang memungkinkan terlaksananya acara besar tersebut.
“Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para hadirin dan tamu undangan yang telah menyempatkan hadir dalam momen penting ini. Semoga TTKKBI terus menjadi wadah yang menjaga nilai-nilai luhur karuhun,” tutupnya.
Menjaga Warisan, Menguatkan Persaudaraan
Milad kedua TTKKBI bukan hanya perayaan usia organisasi, melainkan juga pengingat bahwa seni bela diri tradisional adalah bagian dari identitas bangsa. Dari Banten hingga ke berbagai provinsi, TTKKBI terus meneguhkan tekadnya untuk menjadi penjaga warisan budaya, penggerak solidaritas, dan penyalur semangat juang generasi penerus.
Dengan semangat gotong royong dan nilai karuhun yang dijunjung tinggi, gema “TTKKBI Jaya, Jaya, Jaya!” pun menggema di udara Serang malam itu — menandai bahwa warisan budaya tidak sekadar dilestarikan, tetapi terus hidup di tengah masyarakat. (Dokpub TTKKBI Banten)
