TTKKBI BANTEN – Di tengah riuh zaman yang kian menjauh dari nilai-nilai keheningan batin dan kebijaksanaan tradisi, hadir sosok yang berjalan tenang namun pasti—H. Hudi Nurhudiyat, yang juga dikenal dengan nama AOA atau Ki Banjar Agung.
Beliau bukan hanya seorang ulama, tetapi juga seorang budayawan yang menjadi jembatan antara spiritualitas Islam yang mendalam dan budaya lokal Banten yang kaya makna. Sosoknya mengakar kuat di tengah masyarakat, namun menjulang tinggi dalam keteladanan.
Lahir dan tumbuh besar di lingkungan Banten, di Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak, Banten kidul, yang sarat dengan Khasanah budaya Banten yang kuat. Dari garis Bapaknya, Ahmad Sanusi, dari Kakek Bahri, ia berasal dari Cipanas. Lebak. Sedangkan dari garis ibu yakni dari kakeknya bernama Martaka Aryadilaga. Ia adalah asli dari Malingping yang masih berdarah biru.
Masa Kecil dan Remaja di Malingping
Sejak kecil H. Hudi Nurhudiyat, kehidupannya telah diwarnai hal-hal yang aneh. Ia tumbuh tidak seperti anak kecil biasa tetapi sudah memiliki kemampuan batiniah, telah menunjukkan tanda-tanda keistimewaan yang tidak biasa. Ia telah mampu melihat hal-hal gaib. Sementara ia dibesarkan dalam atmosfer religius karena Ayahnya adalah seorang ulama alat (ilmu nahwu) di Malingping. Ayahnya adalah murid dari seorang ulama terkenal bernama Abu Naseh, ulama sepuh yang disegani.
Sejak menginjak usia remaja, ia tidak lepas dari dinamika sosial dan tantangan kehidupan remaja pada zamannya. Yang membedakan dirinya adalah sejak usia dini ia telah mengenal dunia kebatinan dan memiliki kemampuan melihat hal-hal yang tak kasat mata bagi orang kebanyakan. Hal ini bukan semata kisah mistis, tetapi seluruh catatan hidupnya menjadi bagian dari perjalanan spiritual yang membentuknya menjadi mursyid tarekat syadziliyah di kemudian hari.
Sejak menginjak sekolah dasar, kelas 6, ia sudah disukai teman-temannya dan menjadi pengikutnya. Saat duduk di kelas 3 Aliyah Mathla’ul Anwar, ia mendirikan organisasi kepemudaan bernama Fizder—sebuah gerakan moral yang bertujuan memerangi kemungkaran dan menyelamatkan generasi muda dari pergaulan bebas. Pada puncaknya di tahun 1994, Fizder memiliki ratusan anggota, bahkan hampir mencapai seribu orang yang tersebar di berbagai daerah. Melalui gerakan ini, H. Hudi tidak hanya membina akhlak pemuda, tetapi juga menanamkan nilai-nilai budaya dan membentuk kader-kader tangguh melalui disiplin bela diri Cimande. Ia pun mulai dikenal luas sebagai tokoh muda yang tak hanya berani, tapi juga visioner.
Menempuh Pendidikan Tinggi di Bandung
Pendidikan formal beliau ditempuh di dua perguruan tinggi Islam terkemuka di Jawa Barat: Universitas Islam Nusantara (UNINUS) dan Institut Islam Siliwangi (INISI) Bandung. Di sana, ia menekuni bidang ilmu agama dan hukum, dan berhasil meraih gelar S.Ag., S.H., dan M.H. Gelar-gelar ini bukan hanya pencapaian akademik, melainkan bekal dakwah dan pengabdian sosial yang terus ia aktualisasikan. Setelah lulus, beliau sempat aktif sebagai dosen di STAI Babunnajah, mengabdikan diri di dunia pendidikan demi mencetak generasi penerus yang cerdas dan berakhlak.
Namun yang paling menonjol dari H. Hudi Nurhudiyat bukanlah gelar atau kedudukan, melainkan kerendahan hatinya. Meski secara hakikat beliau adalah mursyid tarekat—guru spiritual dalam tradisi tasawuf—beliau menolak dikultuskan. Ia enggan dipanggil “Kiai” dan lebih senang disapa dengan panggilan akrab “Aa” atau “Abah”, tergantung kenyamanan orang yang berinteraksi dengannya. Sikap ini mencerminkan penolakannya terhadap eksklusivisme simbolik dalam peran keagamaan. Bagi beliau, yang utama adalah kebermanfaatan nyata bagi umat. Meskipun demikian, banyak murid tetap memanggilnya “Kiai” sebagai bentuk penghormatan dan adab.
Tarekat Syadziliyah
Sebagai mursyid Tarekat Syadziliyah, H. Hudi Nurhudiyat memimpin Majelis Al Ma’arij Wathon yang berpusat di Malingping, Kabupaten Lebak. Di sana, beliau membimbing para salik untuk menapaki jalan spiritual yang halus dan mendalam: menghidupkan dzikir, menanamkan cinta kepada Allah SWT, serta menumbuhkan akhlak mulia.
Salah satu kegiatan penting yang digagasnya adalah peringatan milad Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili—pendiri tarekat Syadziliyah—yang bukan sekadar seremonial spiritual, melainkan momen reflektif untuk menyatukan kembali ruh cinta Ilahi dalam jiwa para pengikutnya.
Melestarikan Budaya bersama TTKKBI
Di luar dunia tasawuf, H. Hudi Nurhudiyat juga aktif dalam pelestarian budaya. Ia kini menjabat sebagai Ketua DPW I Tjimande Tari Kolot Karuhun Banten Indonesia (TTKKBI) Provinsi Banten, sebuah organisasi kebudayaan dan bela diri yang menjunjung tinggi warisan leluhur Sunda-Banten. Ia diangkat menjadi Ketua DPW I Provinsi Banten setelah ketua sebelumnya, H. Endin Oktaviana mengundurkan diri dari jabatannya. Sebelum menjabat sebagai Ketua DPW, beliau sempat menjadi Pembina DPP TTKKBI dan kemudian Wakil Ketua Umum DPP TTKKBI.
Di tangan beliau, TTKKBI bukan sekadar tempat berlatih silat, tetapi menjadi ruang revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal dengan pendekatan spiritual, kedisiplinan, budaya Nusantara, dan nasionalisme. Beliau aktif turun langsung ke lapangan, memimpin latihan, menyampaikan pesan budaya dalam forum-forum publik, serta menjembatani generasi muda dengan akar tradisi yang nyaris terlupakan. Ia sering menekankan bahwa berpegang pada budaya adalah benteng identitas agar generasi tidak mudah tergerus oleh budaya asing yang mengikis jati diri bangsa.
Dalam dirinya, seseorang akan menemukan pandangan H. Hudi Nurhudiyat yang unik: perpaduan antara kekuatan batin dan keteguhan sosial. Ia bukan hanya mengajarkan dzikir, tetapi juga menegakkan nilai-nilai budaya yang luhur. Ia tidak hanya membina murid dalam halaqah, tetapi juga mempersatukan masyarakat melalui gerakan kebudayaan yang konkret. H. Hudi Nurhudiyat adalah cermin pemimpin masa kini yang tidak terjebak dalam simbol dan formalitas, melainkan hadir nyata dalam kebermanfaatan.
Kini, di usianya yang matang, H. Hudi Nurhudiyat terus menjadi pelita bagi banyak orang. Pelajar, santri, tokoh masyarakat, hingga pendekar silat datang kepadanya bukan hanya untuk menimba ilmu, tetapi juga untuk mencari keteladanan. Ia telah menunjukkan bahwa Islam yang luhur tidak terpisah dari akar budaya, dan budaya yang luhur akan menemukan ruhnya ketika disinari oleh cahaya Islam yang penuh kasih.
Aktif Menulis Kolom dan Rubrik di Berbagai Media
Pandangan tasawuf H. Hudi Nurhudiyat yang mendalam dan luas salah satunya dapat ditemui di portal berita GazanaPublika.com, khususnya dalam rubrik Genta Qalbu dan Tasawuf Elegant. Dalam tulisan-tulisan beliau, secara ringkas dapat disampaikan bahwa H. Hudi Nurhudiyat termasuk ulama yang mampu mempertemukan dua sisi yang kerap diperdebatkan oleh para ulama: hubungan antara agama dan budaya. Dalam pandangannya, agama tidak seharusnya alergi terhadap budaya, sebab budaya adalah akar dari identitas manusia itu sendiri.
Kedudukan budaya, khususnya tradisi, oleh H. Hudi Nurhudiyat diibaratkan seperti akidah: sesuatu yang melekat pada diri manusia sebagai penanda identitas, yang tidak bisa dipertukarkan. Budaya adalah sesuatu yang diperkenalkan sejak kecil dan tumbuh dalam diri seseorang, sebagaimana akidah membentuk landasan keyakinan. Nabi Muhammad SAW sendiri mengakomodasi budaya lokal dalam syariat Islam, seperti praktik aqiqah yang telah menjadi bagian dari tradisi Arab pra-Islam namun diberi makna baru dalam Islam.
Menurut H. Hudi Nurhudiyat, melepaskan budaya sendiri demi mengadopsi budaya luar adalah seperti melepaskan akidah: sebuah tindakan yang mengaburkan identitas. Hubungan manusia dengan budayanya serupa dengan hubungan seorang anak terhadap orang tuanya: tak bisa diganti dan tak bisa dilepaskan.
Pandangan ini pernah dijelaskan secara panjang lebar dalam artikel di kabarbanten.com berjudul “Budaya sebagai Akar Identitas Manusia” yang terbit pada 25 Maret 2025.
Sebagian umat Islam kerap menganggap bahwa agama dan budaya saling bertentangan, misalnya dalam kasus penari yang tidak mengenakan kerudung. Padahal, hal tersebut seharusnya dipahami secara kontekstual dan proporsional. Bisa jadi, seseorang memang tidak memakai kerudung saat tampil di atas panggung, namun dalam kesehariannya tetap menjaga aurat dan menjalankan kewajiban agama.
Yang sejatinya bertentangan dengan agama adalah budaya yang mengandung unsur syirik, seperti ritual pesta laut yang menyertakan sesajen atau persembahan kepada laut. Dalam menyikapi hal ini, H. Hudi Nurhudiyat menekankan pentingnya membedakan antara budaya dan ritus yang bersifat kepercayaan, seperti animisme, dinamisme, atau unsur-unsur Hindu. Menurutnya, ritual seperti itu bukanlah bagian dari budaya, melainkan sistem keyakinan yang berdiri sendiri.
Budaya itu Keluhuran Budi
Budaya sejatinya adalah ajaran tentang keluhuran budi, kebajikan, dan akal sehat manusia, yang bersifat universal dan bisa selaras dengan nilai-nilai seluruh agama. Sebagai contoh, sejak kecil kita diajarkan sopan santun tanpa harus diberi dalil agama, namun secara substansi ajaran itu sangat Islami.
Tradisi pun tidak selalu identik dengan kemusyrikan. Sebagai contoh, di Jawa terdapat tradisi pengantin menginjak telur saat pernikahan. Praktik ini bukanlah ritual keagamaan, melainkan simbol harapan akan datangnya keturunan dan rezeki, sebuah bentuk doa dalam balutan adat.
Oleh karena itu, budaya merupakan bagian yang inheren dalam kehidupan manusia. Ia tidak bisa dipisahkan karena menyatu dengan perilaku dan jati diri manusia. Bahkan dalam bahasa sehari-hari, seseorang yang berperilaku buruk sering disebut ‘tidak punya adat’—yang artinya kehilangan nilai budaya.
Banyak aspek kehidupan yang menunjukkan bahwa budaya dan agama bisa berjalan beriringan. Sebelum agama diturunkan, budaya telah menjadi panduan manusia menuju kebaikan. Sementara substansi ajaran agama adalah mengenalkan Tuhan dan mengajarkan kebaikan—nilai yang menjadi titik temu yang kuat antara agama dan budaya.*** (BID. PUBLIKASI TTKKBI PROV. BANTEN)
